Kebenaran dan Kebaikan
Perkara benar-salah hanya mempunyai satu nilai: benar atau salah.
Oleh karenanya, perkara benar-salah harus disandarkan kepada suatu hukum; ia bersifat pasti karena ada satu tolok ukurnya (parameter, batasan yang dijadikan ukuran).
Perbedaan pendapat dalam menilaibenar atau salah, semata-mata karena sandaran hukumnya berbeda.
Mustahil ada perbedaan pendapat jika sandaran hukumnya sama.
Perkara baik-buruk memiliki banyak nilai: Sangat baik, baik, kurang baik, buruk, agak buruk, sangat buruk dan seterusnya.
Penilaian perkara baik-buruk biasanya tergantung kepada kepentingan si penilai, baik bersifat kepentingan individu maupun kepentingan kelompok.
Dan terkadang dipengaruhi pula oleh situasi dan kondisi saat membandingkannya.
Jadi, sifatnya sering tidak pasti atau relatif.
Perbedaan pendapat dalam menilaibaik atau buruk, tergantung dari sudut mana suatu kepentingan berpihak.
Mustahil ada kesamaan pendapat bila kepentingannya berbeda.
Yang jelas, dalam perkara agama (Islam), sesuatu yang baik belum tentu benar, sesuatu yang benar pasti baik.
Karenanya, bagi seorang Muslim, yang paling penting harus berpegang pada kebenaran.
Orang baik yang tidak benar biasanya seorang penipu; kebaikannya hanyalah kepura-puraan.
YANG DIAJARKAN MESTI BENAR, BUKAN SEKADAR BAIK
Perkara yang berkaitan dengan benar atau salah, haruslah didasarkan pada satu kaidah hukum.
Kebenaran tidak bisa dipisahkan dari dalil-dalil hukum tersebut.
Tanpa dalil hukum tidak ada kebenaran.
Contoh, sebuah batu berbentuk bulat dengan sebuah batu berbentuk kotak.
Dilihat dari jenis benda, kedua-duanya disebut batu.
Bentuk yang berbeda tidak menjadikan salah satunya disebut bukan batu.
Jadi, dilihat dari sudut hukum jenis benda, kedua-duanya adalah benar (benar batu).
Hal di atas patut diambil contoh; sebab dalam suatu ritus ibadat, kita sering melihat beberapa perbedaan kecil dalam pelaksanaannya.
Jika masing-masing perbedaan itu ditunjang dalil agama, maka kedua-duanya benar dalam pandangan agama.
Perbedaan pelaksanaan itu merupakan hikmah kemudahan dalam mengerjakan ritus ibadat.
Jika tidak ditunjang dalil agama, perbuatan itu salah; itu bukan kemudahan, tapi kerusakan.
Mesti dicamkan, menurut hadits, orang yang membangun jalan yang benar dalam Islam akan menerima pahala dari orang-orang yang mengikutinya, tanpa ada pengurangan dalam pahala mereka.
Sebaliknya, orang yang membangun jalan yang sesat dalam Islam akan menanggung beban dosa dari orang-orang yang mengikutinya, tanpa pengurangan beban (dosa orang-orang) tersebut.
Renungkan.
JANGAN MEREKAYASA RITUS IBADAT
Jangan membuat ketentuan agama hanya dengan alasan tidak ada larangannya dari Nabi Saw ataupun di dalam Al Qur’an.
Kalau segala sesuatu --yang serupa ritus-- boleh dilakukan hanya karena tak ada larangannya dari Nabi atau dalam Al Qur’an; apa boleh kita melaksanakan salat zuhur menjadi satu rakaat saja, atau menambahnya menjadi enam rakaat?
Tokh, tak ada larangannya dari Nabi?
Apa boleh melaksanakan akekah dengan kodok, dan bukan dengan kambing? Tokh, tak ada larangannya?
Atau, apa boleh qurban itu dilaksanakannya pada hari Idul fitri? Tokh, tak ada larangannya?
Memang di antara yang dijadikan sunah ada perkara ibadah yang tidak dicontohkan Nabi Saw, namun dilakukan para sahabat Ra.
Hanya saja perkara tersebut sepengetahuan Nabi; dan Nabi Saw mengizinkannya atau tidak melarangnya.
Jadi jelas, dalam masalah ritus ibadat, kita melakukannya harus berdasar contoh atau izin dari Nabi; bukan sekadar tidak ada larangannya.
Kalau semata-mata hanya tidak ada larangannya --padahal Nabi tidak mengalami atau melihat hal serupa itu-- tidak bisa dijadikan dasar hukum untuk membuat sebuah ketentuan yang menyerupai ritus ibadat.
Lain halnya kalau Nabi melihat sebuah perbuatan, tapi Nabi tidak melarangnya, maka boleh saja perbuatan tersebut dilakukan.
Contohnya, Nabi pernah melihat orang berdoa sambil mengangkat tangan, dan Nabi membiarkannya. Artinya, Nabi tidak melarangnya.
Jadi, walau Nabi tidak memerintahkan orang berdoa harus sambil mengangkat tangan, berdoa sambil mengangkat tangan itu tidak apa-apa bila dilakukan.
Yang jelas, dan pasti, kita tidak boleh membuat sesuatu yang menyerupai ritus ibadat jika tidak ada izin atau contohnya dari Nabi Saw; termasuk contoh bahwa Nabi tidak melarang.
Kalau sekadar tidak ada larangan tapi tidak ada contohnya, itu bukan dalil; itu hanya akal-akalan.
Dan setiap akal-akalan harus dipertanggungjawabkan di akhirat.
BUKAN URUSAN MUSLIM YANG BERIMAN
Melakukan ritus dengan menanam kepala kambing saat mendirikan rumah, dengan maksud menolak bala atau mengusir setan, membuat orang lain mengejek kebodohan kita.
Jangankan mengusir setan atau menolak bala, menghindarkan dirinya sendiri dari disembelih dan kepalanya ditanam, si kambing itu tidak bisa melakukannya.
Tentu saja, perbuatan tersebut tidak apa-apa jika dilakukan oleh non-muslim.
Sebab itu bukan urusan kita, bukan urusannya orang-orang yang beriman, bukan urusannya orang yang hanya percaya pada kuasa Allah.
Mesti dicamkan, Muslim harus mengharap berkah semata-mata hanya dari Allah; bukan dari penghuni gunung atau penguasa laut yang sekadar mitos atau legenda khayalan.
Sebab, ritus ibadat yang tidak sesuai contoh dari Nabi, seperti upacara tolak bala, malah bisa mendatangkan malapetaka yang lebih dahsyatdi kemudian hari; na ‘udzubillah.