MUDA , KAYA , TIDAK BAHAGIA ?
SEGALANYA memang masih simpang-siur. Tidak jelas, atau belum jelas. Itu jika menyangkut nama besar yang punya banyak duit di negeri ini.
Tanpa sengaja mengikuti berita penangkapan Raffi Ahmad oleh BNN, saya jadi ingat, entah kapan pertama kalinya saya melihat Raffi Ahmad di televisi. Saya bukan penggemarnya. Bukan pula seseorang yang membencinya. Biasa-biasa saja.
Ketika mendengar kabar itu tadi pagi, spontan saya bertanya pada adik ipar saya, “Jika kamu punya banyak duit, apa yang bakalan kamu lakukan?” Adik ipar saya baru lulus SMA, dan segera kerja dalam beberapa bulan ini.
Ia hanya tertawa. Bingung juga menjawabnya.
Kemudian, saya mereka-reka jawaban-jawaban saya sendiri. Bahkan ketika usia tidak muda pun, saya akan menjawab banyak hal namun ujungnya harus satu : “Saya harus bahagia”.
Lantas, apakah Raffi Ahmad ini tidak bahagia? Tak ada yang bisa menjawabnya kecuali Allah SWT dan dia sendiri.
Saya membayangkan kehidupan artis. Bekerja tak ada jam kerja. Penghasilan besar. Malam bisa jadi siang, dan begitu sebaliknya. Namun hidup melayap dari satu tempat ke tempat lain. Dari satu komunitas ke komunitas yang lain.
Ada banyak artis yang menurut mereka, mereka sudah “insyaf” dari dunia artis. Ada Harry Mukti. Sakti Sheila on7. Dan banyak lagi.
Kang Harry Moekti suatu kali mengungkapkan, dunia artis tampak sangat menyenangkan. Padahal, sebenarnya penuh kemaksiatan. Karena itu, janganlah memilih dunia tersebut.
“Saya ini mantan artis, jadi tahu persis kehidupan di dunia artis,” kata beliau. Kang Harry mengaku, ia meninggalkan dunia penuh gemerlap itu tahun 1995, saat berada pada puncak ketenaran. Saat itu, dalam dirinya muncul kesadaran, bahwa dunia yang dijalaninya jauh dari tuntunan agama Islam yang diyakininya.
“Masa iya saya mengucapkan ‘Assalamuallaik um’ dengan suara keras, tapi malah menjauhkan orang yang saya sapa itu dari Allah SWT?” demikian ujarnya suatu kali di sebuah kajian yang pernah saya hadiri.
Sedangkan Sakti Sheila On7, katanya memetik cahaya hidayah di Bandara Adisucipto, Yogyakarta. Saat itu, ia bersama Erros akan terbang ke Malaysia untuk menerima penghargaan musik di negeri jiran itu. Saat menunggu pesawat, ia masuk ke sebuah toko buku. Matanya tertumbuk pada sebuah buku berjudul “Menjemput Sakaratul Maut Bersama Rasulullah”.
“Saat itu sedang musim kecelakaan pesawat. Hati jadi tidak menentu, kepikiran bagaimana kalau pesawat yang saya tumpangi jatuh dan saya mati, bagaimana nanti jadinya,” ujarnya mengenang. Buku itu lalu ia beli dan ia bawa kembali saat pulang. Di rumah, perasaannya semakin trenyuh karena mendapati ibunya sedang sakit lantaran sebelah paru-parunya mengecil. Pikirannya makin lekat pada kematian setelah seorang bibinya yang datang menjenguk membawakan sebuah majalah keagamaan yang juga bicara kematian.
Rentetan peristiwa itu membuat Sakti merasa diingatkan Allah tentang kematian, hal yang dulu sama sekali tak pernah ia pikirkan.“Kita semua akan mati. Masalah waktunya, kita tak pernah tahu,” ujarnya pelan. Ia seperti tersadar bahwa amal di dunia sangat menentukan kebahagiaan di akhirat. Pikirannya semakin fokus pada kematian setelah dalam pengajian-penga jian yang ia ikuti ia memperoleh pengetahuan betapa dahsyatnya kepedihan akhirat, dan sebaliknya betapa indahnya kebahagiaan di sana.
Lantas, pertanyaannya, apakah Harry Mukti, dan Sakti sekarang ini hidup bahagia dengan pilihannya? Saya, dan siapapun tak pernah tahu. Hanya mereka dan Allah. Sama seperti hal yang terjadi pada Raffi Ahmad. Hanya dalam pikiran saya yang generik, siapapun yang memakai narkoba, dia adalah orang yang sakit dan tidak bahagia dengan hidupnya sendiri. Ada begitu banyak pilihan di sekeliling kita. Mau jadi artis. Ustadz. Penulis. Atau apapun. Kalau hanya sekadar muda, kaya, tapi tidak bahagia, apa artinya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar